Sabtu, 02 November 2019

Penerapan Dwi Fungsi ABRI

Dwifungsi ABRI adalah doktrin yang diterapkan oleh Pemerintahan Orde Baru dimana TNI memiliki dua tugas, yaitu pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara. Dwi Fungsi ABRI dapat dipandang sebagai masuknya militer dalam posisi-posisi/jabatan-jabatan penting dan mengurangi jatah orang-orang sipil. Keadaan demikian membuat masyarakat sipil mengalami kemandekan dalam pembinaan SDM, kaderisasi dan kepemimpinan. Sipil dianggap masih belum mampu memimpin atau mengelola negara.

Konsep Dwi Fungsi ABRI berawal dari konsep "jalan tengah" yang dikemukakan oleh Jendral A.H.Nasution. Dwi Fungsi ABRI sendiri sebagai konsep jalan tengah sebelumnya sudah direncanakan oleh presden Soekarno berserta kabinet dan pimpinan Angkatan Perang pada saat itu, dimana akan diberi kesempatan kesempatan yang luas kepada pewira pewira tentara atas dasar perorangan tetapi sebagai eksponen tentara untuk berpartisipasi secara aktif dalam bidang non militer dalam menentukan kebijakan Nasional Pada tingkat Tinggi, termasuk dalam bidang keuangan, ekonomi,politik dan sebagainya.
 Dwifungsi ABRI adalah doktrin yang diterapkan oleh Pemerintahan Orde Baru dimana TNI memi Penerapan Dwi Fungsi ABRI
Dwi Fungsi ABRI mempunyai landasan–landasan yang dapat menguatkan posisinya dalam politik. Landasan tersebut diantaranya:
  1. Tap MPRS No. II/MPRS/1960 dibuat sebelum masa orde baru. 
  2. UU No. 20 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertahanan kemanan negara.
  3. UU No. 2 tahun 1988 Pasal 6 yang berbunyi “Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia mengemban Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, yaitu sebagai kekuatan pertahanan keamanan negara dan  kekuatan sosial politik.

Secara umum, intervensi ABRI dalam bidang poilitik pada masa Orde Baru yang mengatasnamakan Dwifungsi ABRI ini salah satunya adalah dengan ditempatkannya militer di DPR, MPR, maupun DPD tingkat provinsi dan kabupaten. Perwira yang aktif, sebanyak seperlima dari jumlahnya menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), dimana mereka bertanggung jawab kepada komandan setempat, sedangkan yang di MPR dan DPR tingkat nasional bertanggung jawab langsung kepada panglima ABRI.

Keterlibatan ABRI di sektor eksekutif terutama melalui Golkar. Hubungan ABRI dan Golkar disebut sebagai hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme. Misalnya saja pada Munas I Golkar di Surabaya (4-9 September 1973), ABRI mampu menempatkan perwira aktif ke dalam Dewan Pengurus Pusat. Selain itu, hampir di seluruh daerah tingkat I dan daerah tingkat II jabatan ketua Golkar dipegang oleh ABRI aktif. Selain itu, terpilihnya Sudharmono sebagai wakil militer pada pucuk pemimpin Golkar (pada Munas III) juga menandakan bahwa Golkar masih di bawah kendali militer.

ABRI dalam bidang politik juga terlibat dalam sektor legislatif. Meskipun militer bukan kekuatan politik mereka tetap memiliki wakil dalam jumlah besar (dalam DPR dan MPR) melalui Fraksi Karya ABRI. Namun keberadaan ABRI dalam DPR dipandang efektif oleh beberapa pihak dalam rangka mengamankan kebijaksanaan eksekutif dan meminimalisasi kekuatan kontrol DPR terhadap eksekutif. Efektivitas ini diperoleh dari adanya sinergi antara Fraksi ABRI dan Fraksi Karya Pembangunan dalam proses kerja DPR.

Pada masa Orde Baru, pelaksanaan negara banyak didominasi oleh ABRI. Dominasi yang terjadi pada masa itu dapat dilihat dari: 
  1. Banyaknya jabatan pemerintahan mulai dari Bupati, Walikota, Gubernur, Pejabat Eselon, Menteri, bahkan Duta Besar diisi oleh anggota ABRI yang “dikaryakan”, 
  2. Selain dilakukannya pembentukan Fraksi ABRI di parlemen, ABRI bersama-sama Korpri pada waktu itu juga dijadikan sebagai salah satu tulang punggung yang menyangga keberadaan Golkar sebagai “partai politik” yang berkuasa pada waktu itu, 
  3. ABRI melalui berbagai yayasan yang dibentuk diperkenankan mempunyai dan menjalankan berbagai bidang usaha dan lain sebagainya.

Dwifungsi ABRI secara perlahan-lahan dihapuskan menyusul runtuhnya rezim Soeharto. Pada rapat pimpinan ABRI tahun 2000, disepakati untuk menghapus doktrin ini yang akan dimulai setelah Pemilu 2004.